Minggu, 20 Juni 2010

Para penebang kayu, sepulangnya dari hutan dengan memakai gebeng atau rakit, menari-nari riang gembira sambil melepaskan lelahnya di dalam perjalanan menuju pulang untuk menemui keluarganya yang telah sebulan lamanya ditinggalkan. Maka sebahagian penduduk mengatakan kata "gubang" berasal dari "gebeng" Baginda Raja melihat perbuatan ketiga nelayan itu merasa tersinggung dan marah sekali. " Hentikan....!!!,apa maksud kamu ini hai nelayan"!! hardik baginda Raja. "Mohon ma'af dan ampun kebawah duli tuanku, sebenarnya kami ingin menunjukkan bakti kami kepada tuanku. Air sirih ini ibarat warna darah kami, yang rela berkorban kepada tuanku sampai titik darah terakhir serta senantiasa taat dan setia terhadap segala titah tuanku sampai akhir hayat kami" jawab si Timba ruang.
Begitu mendengar ucapan nelayan itu secara spontan hilanglah marah baginda Raja, dan bukan main besar hatinya mendengar sanjungan para nelayan itu, sembari menyerahkan pundi-pundi wang gobang yang telah diambilkan oleh permaisuri tadi.
"Nah kalau begitu terimalah hadiah dari beta untuk kamu bertiga" seru baginda Raja.
"Ampun beribu ampun, patik sembahkan beserta terima kasih yang tak terhingga kami haturkan kepada Tuanku junjungan kami, karena kami tidak memerlukannya" ucap si Timba ruang. " Bagaimana kalau beta tukar gobang ini dengan emas dan permata?" balas baginda Raja.
"Sekali lagi hamba mohon ampun dan maaf kebawah duli tuanku, kami nelayan yang hina dan miskin ini tidak mempunyai rumah tempat tinggal yang tetap, rumah kami hanyalah sebuah perahu yang telah buruk, dimana perahu kami bertambat disitulah kami beristirahat. Kalau Tuanku memberi gobang, emas atau permata, kami takut kalau-kalau nyawa kami akan berpisah dari badan, dibunuh oleh para lanun-lanun di laut. Pinta kami kalau ijin tuanku berkenan memberikan kepada kami barang sejengkal tanah buat tempat kami berpijak untuk dapat menyambung hidup kami yang nyaris ditelan ombak dan badai yang bukan main dahsyatnya di tengah lautan" kata si Haluan
"Baiklah kalau itu yang kamu pinta, beta tidak berkeberatan, beta hadiahkan daratan yang ada dihilir Sungai Asahan, sejauh mata memandang akan menjadi milik kamu bertiga, sebagai ganti persembahan kamu kepada beta..Kerjakan dan rawatlah tanah itu sebaik-baiknya dan manfaatkanlah hasil tanah itu untuk penghidupan kamu bertiga". Kata baginda Raja.
"Terima kasih, terima kasih ke bawah duli tuanku.Tidaklah dapat kami menceritakan bagaimana besarnya hati kami ini, menerima anugrah tuanku yang tiada terhingga dan budi baik tuanku tiada dapat kami balas. Kami berjanji akan merawat pemberian tuanku itu dengan sebaik-baiknya sebagai bukti sembah bakti kami ke bawah duli tuanku" sahut dibarengi dengan sembah si Timba ruang.
Setelah mendengarkan segala ucapan ayahandanya itu, bukan main besarnya hati puteri raja mendengar keputusan yang arif dan bijaksana sebagai Raja yang dimuliakan oleh hamba rakyatnya. Juga sang puteri merasa bangga terhadap ayahandanya karena telah dapat berbuat suatu keadilan terhadap rakyatnya yang miskin dan sangat melarat.
Ketiga nelayan itu menghaturkan sembahnya serta mengundurkan diri dan mulai beranjak perlahan-lahan keluyar dari istana, berangkat menuju arah hilir menyusuri sungai Asahan untuk mencari tanah yang cocok dan sesuai dengan keinginan mereka sebagai tempat tinggal dan dapat bercocok tanam sebagaimana yang telah dikatakan oleh baginda Raja Margolang yang mana bijaksana dan sangat baik hati. Mereka tidak menyangka bahwa akan mendapat rejeki yang tidak disangka-sangka. Tidak pernah terlintas dalam benak mereka akan mendapat tempat tinggal yang menetap selama ini. Dengan serta merta merekapun memuja roh leluhur mereka, agar senatiasa mendapat keselamatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar