Selasa, 22 Juni 2010

Bahagian IV

Sepeninggal nelayan yang telah dapat menyembuhkan sang putri raja Margolang di Huta Bayu, maka baginda Raja Margolang senantiasa memperhatikan kehidupan rakyatnya. Pada masa itu sungai adalah jalan raya atau lalu lintas yang sangat vital. Sungai Asahan adalah sungai yang besar berarti daerah yang ada disekitarnya menjadi amat berharga. Daerah disepanjang sungai Asahan dibagi-bagi raja kepada keluarga keturunan raja Margolang. Kemudian bagi keluarga yang agak jauh menurut susunan keluarga raja diberikan daerah sungai-sungai kecil (anak sungai). Sedangkan penduduk yangmenjadi rakyatnya dibagi daerah agak kepedalaman. Negeri itu menjadi negeri yang rukun dan damai dibawah pemerintahan baginda Raja Margolang dan penduduk merasakan hidup aman dan sejahtera.
Tak berapa lama berselang baginda Raja Margolang mangkat. Berita mangkatnya baginda raja Margolang tersebar ke seluruh pelosok negeri itu. Nelayan yang tinggal di Pasobahan puntidak ketinggalan menghadiri acara kematian di Huta Bayu. Upacara kematian ini dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam. Nelayan yang tiga orang itu turut mengambil bagian dalam upacara sebagai pemain musik (margondang)
Seluruh anggota keluarga terdekat dengan baginda raja Margolang beserta penduduk yang ikut dalam upacara kematian itu menari (manggual) dekat mayat baginda Raja, agar roh (tondi) dari baginda raja dapat diterima menjadi begu (mambang) yang tidak mengganggu anak cucunya kelak kemudian hari. Pada tari persatuan (tari bersama) yang terakhir dilangsungkan dengan memberikan tanda kesayangan, yaitu orang yang paling rapat dengan si mati (istri) memberikan sehelai kain kepunyaan baginda raja beserta pisau dan tungkat kepada saudara sanak bapak (waris) dengan baginda raja dengan perantara puteri raja boru Margolang.
Setelah tujuh hari tujuh malam lamanya upacara margondang itu, tibalah masanya acara penguburan. Seluruh penduduk negeri berkumpul pada acara duka cita untuk menunjukkan bakti terakhir mereka kepada raja, yaitu turut memikul usungan mayat baginda raja ke pekuburan. Usungan itu dibuat dari 2 batang pohon pinang yang telah cukup tinggi lalu di kupas kulitnya , kemudian mayat baginda raja di telentangkan, muka menghadap keatas, dan kakinya membujur kemuka, maksudnya diperbuat demikian supaya ia jangan dapat menoleh ke kampung dan lagi supaya roh-roh dari orang-orang yang berarak dibelakang mayat itu tidak dapat berpandangan muka dengan roh si mati.
Di dekat mayat dihias dengan lipan-lipan yang terbuat dari daun pandan dan disisipkan bunga-bunga yang wangi-wangi. Di bahagian kepala mayat dipasang sebuah payung dan didekat kepala mayat duduklah permaisuri raja sambil menabur-nabur bunga rampai yang didalamnya bercampur dengan wang gobang di sepanjang jalan sampai ke pekuburan, sambil meratapi kepergian baginda raja Margolang yang sangat dicintainya. Anak-anak berebutan mengutip wang gobang yang ditabur itu. Para penduduk beramai-ramai memikul mayat itu secara berganti-ganti.
Di Kotamadya Tanjung Balai cara pengusungan mayat seperti ini masih saja berlangsung seperti legenda ini, tetapi mayat di letakkan di dalam keranda (peti mayat) yang bentuknya seperti tepak sirih yang besar. Para keluarga yang ikut naik keatas usungan, ini hanya berlaku pada keluarga Kesultanan Asahan, sedangkan bagi rakyat biasa tidak pernah dilakukan. Sedangkan menghiasi keranda dengan lipan-lipan dan daun pandan yang dirangkai sampai saat ini masih banyak yang melakukannya, dan bunga rampai tidak ditabur sepanjang jalan, tetapi di bawa kepekuburan, setelah mayat selesai di timbun dan dipasang patok (tanda) dari ranting kayu atau sengaja dibuatkan dari papan sewaktu membuat keranda. Patok ini dipasang sebelum dibuatkan batu nisan.Setelah pemasangan patok, barulah bunga rampai di tabur antara patok dengan patok sebanyak tiga kali berulang-ulang, dimulai dari sebelah kepala kearah kaki. Kebudayaan memakai bunga rampai ini, sekarang telah mulai berkurang karena tidak sesuai dengan ajaran agama islam dan diganti dengan membawa air bersih di dalam botol kemudian disiramkan keatas kuburan itu sambil berdo'a.
Setelah mangkatnya baginda raja Margolang, seluruh anggota keluarga masih dalam keadaan berkabung dan merasa sedih. Selama tiga malam diadakan jamuan dimulai dengan pemasanngan perasapan (membakar kemenyan) acarapun di mulai. Bunyi-bunyian mulai di tabuh sambil bernyanyi untuk menghibur keluarga raja yang dalam kesedihan itu.
Setelah 7 hari lamanya jenazah baginda dikebumikan dibuatlah acara jamuan kepad roh (mambang) dari baginda raja, agar jangan datang mengganggu sanak keluarganya, maka dibuatlah ayam panggang beserta makanan lainnya seperti; pulut, bertih,gula inti berikut rokok daun, tembakau dan sirih sekapur kemudian dibakarlah kemenyan.
Seluruh rakyat di suruh ikut menghadiri upacara ini, dan memakan jamuan yang disediakan setelah berakhirnya pembacaan jampi-jampi. Peringatan ini dibuat lagi setelah jenazah dikebumikan selama 40 hari, berikutnya selama 100 hari.
Kebudayaan ini masih terus berlangsung sampai sekarang, dinamai acara tahlilan (baca Qulhu) selama 3 malam, disesuaikan dengan ajaran islam dengan membaca Al Qur'an secara bersama-sama, gunanya untuk menghibur yang ditimpa musibah. Juga membuat jamuan kenduri setelah 7 hari, 40 hari dan 100 hari disebut "kenduri" menujuh hari, mengempat puluh hari dan meratus hari dengan mengirim do'a agar kepada jenazah yang telah meninggal itu dilapangkan dalam kuburnya dan bagi keluarga yang ditimpa musibah mendapat ketabahan hati dan kesabaran atas kesedihan yang menimpa keluarga.
Kebudayaan ini adalah kebudayaan campuran (pembauran), dengan itu terjadilah kebudayaan Islam di dalam masyarakat Tanjung Balai dan sekitarnya.
Upacara yang dilakukan dengan menggunakan jamuan berupa:pulut, inti gula,pisang dan bertih (padi digoreng hingga kembang) dilakukan pada acara "tolak bala" , agar terhindar dari bala yaitu pada acara :pindah rumah, menurunkan sampan ke laut, jamu laut, mengusir penyakit dan lain-lain. Kebudayaan ini terus berkembang hingga sekarang.
Setelah enam purnama lamanya baginda raja Margolang mangkat, menyusul pula lah permaisuri Raja ibunda dari putri Raja Boru Margolang menghembuskan nafasnya yang terakhir, meninggalkan puterinya hanya seorang diri. Bukan main bertambah sedihnya hati putri raja itu karena goresan hati atas meninggalnya ayahandanya itu belum lagi hilang dari pelupuk matanya, masih terbayang-bayang dalam pandangan bagaimana kasih sayang ayahanda kepadanya. Kini ibunya pula menyusul ayahandanya. Jerit tangis dan raungan tuan puteri membuat seluruh istana merasa teriris sedih. Bukan main ramainya jerit tangis, dimana para dayang-dayang tidak pula ketinggalan meratapi sang putri yang sedang digeluti kesedihan yang tidak terperikan itu.
Puter raja beberapa kali jatuh pingsan tak sadarkan diri, beliau tidak menyangka begitu cepatnya kehilangan dua orang yang dikasihinya. Tidak ada lagi tempat bermanja selain mak inang pengasuh yang telah mengasuhnya sejak dari kecil. Mak inang pengasuh tidfak jemu-jemunya menghibur tuan puteri agar jangan jatuh sakit. Mak inang pengasuh sebagai ganti orang tuanya yang telah tiada, kasih sayangnya ditumpahkan kepada mak inang. Segala persoalan yang tidak dapat dipecahkannya selalu disampaikannya kepada mak inang