Bahagian V
Keadaaan negeri Huta Bayu terasa sepi dengan mangkatnya baginda raja dengan permaisurinya. Istana kerajaan nampak suram karena tuan puteri selalu bersedih dan menanngis, teringat kepada ayah dan bundanya. Sudah sebulan berlalu, seluruh anggota istana mulai memikirkan siapakah yang diangkat untuk menggantikan baginda raja sebagai pucuk pimpinan pemerintahan di negeri itu. Maka diadakan sidang pembesar-pembesar istana. Sangat sulit nampaknya di dalam persidangan itu menentukan pengganti raja, karena seluruh rakyat sudah sangat mencintai akan keadilan dan kebijaksanaan selama baginda raja Margolang memerintah. Untuk pemilihan ini tidak ada jalan lain yaitu memilih puteri raja boru Margolang sebagai pengganti ayahandanya. Puteri raja Margolang hanyalah satu-satunya anak dari baginda raja. Belum pernah seorang perempuan menjadi raja, tapi apa boleh buat, baginda tidak mempunyai anak laki-laki. Jika dipilihpun dari saudara laki-laki raja Margolang, tidak ada yang sanggup menggantikannya. Dengan keputusan yang bulat seluruh pembesar istana untuk memilih tuan puteri. Maksud mereka ini disampaikan kepada tuan puteri. Tuan puteri belum dapat memutuskan permintaan dari para pembesar istana, karena beliau belum lagi mendapat ketenangan hati.
Pada suatu malam tuan puteri bermimpi, ayahanda dan ibundanya datang kepadanya. Bukan main puas rasa hati sang puteri dapat berjumpa dengan kedua orang tuanya. Dalam mimpinya itu ayahandanya meminta agar sang puteri menerima permintaan para pembesar itu, dan dalam mimpinya itu ayahandanya meminta agar sang puteri mengatakan akan tetap mendampingi sang puteri dalam menjalankan pemerintahan di negerinya. Sebagai ganti kedua orang tuanya , maka disuruhlah tuan puteri mencari ayam merah. Kalau ayam merah ini telah dapat lalu dimandikan dengan air bunga maka nanti roh kedua orang tuanya akan masuk kedalam tubuh ayam itu. Itulah sebagai peliharaan dan permainan sang puteri. Kebiasaan memelihara binatang ini disebut "togas" Apabila togas ini tidak dipelihara maka mambang ini akan mengamuk dan mendatangkan kesusahan bagi keturunan di belakang hari.
Setelah tersentak dari mimpinya, tuan puteri membangunkan mak inang pengasuh dan menceritakan tentang mimpinya itu. Pendapat mak inang agar sang puteri menuruti segala apa yang diceritakan dalam mimpinya itu. Setelah hari siang sang puteri menceritakan juga mimpinya kepada pembesar istana. Bukan main besar hati mereka karena pilihan mereka jatuh kepada sang puteri itu tidak meleset.
Keesokan harinya dipukullah canang untuk memberitahukan kepada seluruh rakyat di negeri itu tentang penabalan sang puteri raja Margolang menjadi raja pengganti raja Margolang. Seluruh rakyat mendengar berita itu merasa suka cita, karena tuan puteri selain rupanya yang cantik juga hatinya baik. Penabalan itu dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam. Oleh sang puteri diperintahkan kepada pengawal istana untuk memanggil nelayan yang ada di Pasombahan untuk mengadakan hiburan pada hari penabalan itu.
MMendapatkan panggilan sang puteri raja yang merupakan penghormatan yang tinggi sekali bagi ketiga nelayan itu. Berangkatlah segera ketiga nelayan itu menuju istana di Huta Bayu. Selama tujuh hari tujuh malam ketiga nelayan itu menghibur dengan tiada rasa letihnya. Tanpa adanya sang puteri mungkin hidup mereka tetap menjadi yang melarat, itulah makanya mereka sangat berhutang budi kepada sang puteri raja sehingga permintaan puteri tak dapat ditolak. Setelah habis masa penabalan itu, ketiga nelayan tersebut mohon diri untuk kembali ke Pasombahan. Tapi maksud mereka terpaksa di urungkan karena tuan puteri meminta mereka menetap di istana, sewaktu-waktu dapat menghibur hati sang puteri jikalau dalam keadaan bersedih hati.
Suatu hari sang puteri sedang bersama-sama mak inang pengasuh berkatalah sang puteri kepada mak inang" ..mak inang, jika nanti ananda tiada lagi di dunia ini, tentu mak inang juga akan merasa sedih sebagaimana perasaanku ini selama ditinggalkan ayah dan bunda" mak inang merasa terkejut mendengar perkataan sang puteri. ."Janganlah tuan puteri berkata begitu, nasib kita belum tentu lagi, entah mak inanglah yang dulauan mati" "Tidak mak inang , ada firasat datang kepadaku bahwa ananda akan berpisah dengan mak inang. Kalau ananda sudah tidak ada lagi dan mak inang sangat rindu kepada ananda, karena sedihnya mak inang bisa jatuh sakit. Apabila mak inang nanti sakit kuat, suruhlah ketiga nelayan itu meng-andungkan lagu yang sedih itu dan menari-nari di dekat mak inang. Buatlah acara itu pesta besar-besaran penuh dengan hiasan dan taman di dalam ruangan tempat mak inang, nanti roh ananda akan masuk ke tubuh mak inang, mak inang akan menjadi pawang besar yang dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tapi kalau mak inang tidak melaksanakannya paling tidak setahun sekali, roh saya nanti akan penasaran dan akan mengganggu anak cucu mak inang sampai tujuh turunan"
Mendengar pesan tuan puteri itu, mak inangpun berkata " mak inang akan selalu ingat akan pesan ananda itu, jangankan seperti kata tuan puteri,memasuki lautan api pun mak inang bersedia"
Berita adanya seorang raja perempuan yang memerintah di negeri Huta Bayu dan kecantikan tuan puteri itu menyebar kemana-mana. Konon adalah seorang raja yang berpengaruh sangat besar, dan mempunyai laskar yang sangat kuat. Berita kecantikan tuan puteri itupun sampai terdengar ole beliau. Maka inginlah beliau menyunting bunga yang indah di Huta Bayu itu. Maka dikirimkanlah utusan untuk meminang tuan puteri dengan mahar yang sangat banyak dan mahal-mahal. Utusan itupun berangkatlah diiringi pengawal yang sagat banyak. Begitu utusan itu sampai di istana Huta Bayu, langsung mereka memasuki istana dengan sombongnya. Pinangan itu di sampaikan kepada tuan puteri Boru Margolang, mendengar maksud mereka itu, tuan puteri boru Margolang serta merta menolak dan tidak ingin di peristri oleh raja yang sombong itu. Penolakan yang tiba-tiba saja di ucapkan oleh puteri itu memuat kemarahan dari utusan itu.Segera diperintahkannya seluruh pengawalnya untuk menangkap sang puteri raja Margolang dan membunuh semua orang-orang di dalam istana. Tuan puteri di tarik secara paksa agar naik ke dalam perahu tempat mahar-mahar yang telah disediakan itu. Kemudian istana kerajaan Huta Bayu dibakar mereka.
Melihat keganasan mereka itu, sang puteri memanggil-manggil mambang dari kedua orang tuanya. Begitu perahu itu baru saja mulai bergerak, tiba-tiba datanglah angin puting beliung sangat kencangnya. Perahu mereka berputar-putar di pusing oleh angin kencang itu, akhirnya semua perahu-perahu itu tenggelam kedasar sungai. Sang puteri juga ikut tenggelam bersama-sama mahar pinangan itu.
Mak inang beserta ketiga nelayan itu melihat para pengawal raja yang barusan datang ke istana itu membunuhi semua orang-orang di dalam istana itu, selekas mungkin mereka berempat menghindarkan diri dan melarikan diri keluar istana dan bersembunyi sambil memperhatikan kejadian apa yang akan menimpa diri sang puteri. Begitu melihat perahu sang puteri tenggelam kedasar sungai, menjeritlah mak inang sekuat-kuatnya dan akhirnya jatuh pingsan tidak sadarkan diri. Setelah mak inang sadar terasa lemah sekujur tubuhnya serasa lumpuh dan tidak dapat digerakkan lagi. Tempat kejadian tenggelamnya sag puteri itu menurut legenda rakyat masih ada yaitu tempat air yang berputar. Tempat ini sekarang dinamai "Lok Putar" atau " Ulak Putar" . Terletak di hulu sungai Asahan dekat Huta Bayu di daerah Bandar Pulau.
Hancur hati mak inang mengenangkan nasib sang puteri yang malang itu, sehingga mak inang jatuh sakit dan dan sangat parah kelihatannya. Ketiga nelayan itu mendirikan pndok untuk tempat tinggal mereka , mereka juga berusaha mencarikan dukun yang dapat mengobati penyakit mak inang. Dukun itupun datanglah ke pondok mereka dan meminta ramuan yaitu :kunyit, pisau, kapur sirih dan perapian (dupa). Kunyit itu di belah dua, lalu di bacakan mantra (jampi-jampi) kemudian di simbang berulang kali. Setela selesai menyimbang-nyimbang kunyit itu, iapun mengatakan bahwa mak inang bukanlah keteguran roh, melainkan ada suatu niat dari mak inang yang belum tersampaikan.
Si Haluan salah seorang dari ketiga nelayan itu lalu menannyakan kepada mak inang, apakah beliau mempunyai niat akan sesuatu?Mak inang lama berpikir tentang niat yang dimaksudkan mereka itu. Akhirnya barulah di ingatnya pesan sang puteri tentang pengobatan yang harus dilaksanakan oleh ketiga nelayan itu. Mendengar permintaan yang berasal dari pesan sang puteri raja, maka dengan senang hati ketiga nelayan itu melaksanakan acara pengobatan itu, tidak obahnya merupakan pesta besar-besaran. Dipanggillah beberapa orang penduduk lainnya untuk membantu mereka membuatkan hiasan dari daun kelapa yang dibentuk berbagai macam, seperti udang-udangan, lipan-lipanan, burung-burungan dan bunga-bungaan. Di dalam ruangan itu merupakan taman yang indah sekali, serta lengkap dengan ayun-ayunan. Juga berbagai macam makanan di masak, lengkap dengan kue-kuenya. Penduduk sekitar rumah itu mulai berdatangan.
Acara pengobatan itupun dimulai, si Timba Ruang mulailah memukul gendangnya, si Haluan meniup bangsi dan si Buritan mulailah bernyanyi dengan suara yang nyaring, erkuandanglah lagu "didong, aloban condong dan sinandong yang memukau pengunjung dan rasanya naik bulu tengkuk mereka endengarkan syair lagu Sinandong itu sebagai berikut :
Ooooooooiiiiiiiiiii, tuan intan payung ooooooiiiiiiiiiii
kurambah hutan menjadi kampung
kampung ku pupuk jadi negeri
kan tempat semayan si tuan puteri
kan kabarkan orang dari muara.........................
Namun alangkah sakit tuan oooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinasib kami ini,
asyik memuja si tuan puteri
puteri terkurung dalam istana
istana di kota ada tuannya....................
Kemudian menyusul pula tari Patam-patam dan diteruskan dengan tari Gubang. Ketika tari Gubang itu di tarikan secara tak disangka-sangka mak inang dapat bangkit lalu mengambil mayang pinang yang masih terbungkus , dan ikut pula menari sambil membuai-buai mayang itu seperti membuai anak kecil layaknya, bersama-sama si Buritan. Mak inang meminta agar piring berisi beras tiga warna, bertih, tepak sirih, perasapan dan kemenyan , jeruk perut. 7, batang lilin damar dinyalakan, ember berisi air, sebotol minyak wangi, 9 buah gobuk (periuk tanah) disediakan dengan cepat karena puteri dari 7 lautan akan tiba.
Kesembilan gobuk itu disusun teratur , tari gubang terus saja berlangsung dan mak inang kembali lagi meneruskan tarinya sambil meniti gobuk satu persatu, tiada satupun diantara gobuk itu yang pecah. Setelah selesai meniti gobuk, mak inang memukulkan tapak tangannya kemayang itu sehingga berderailah mayang itu. Asap kemenyan mulailah mengepul di sekitar ruangan itu, bertih dan beras tiga warna ditaburkan. Mak inang memukul-mukulkan mayang dan mencelupkan kedalam ember yang berisi air serta merinjis keempat penjuru ruangan, dan meminta agar lagu Sinandong kembali dinyanyikan. Begitu lagu Sinandong berkumandang, iapun berlari menuju ke buaian yang telah disediakan, berayun-ayun seperti puteri raja sedang bermain-main di taman istana.
Rupanya mak inang sudah kemasukan mambang tuan puteri, lalu iapun turun daru ayunan itu dan duduk dilantai, sambil meminta sehelai kain putih. Dengan berselubungkan kain putih iapun menari-nari kembali dengan lincahnya. Tari ini disebut tari " Mambang" Begitu tari Gubang selesai , mak inang duduk kembali, sekujur tubuhnya menggeletar dan berbicara dengan suara serak, iapun mulai berbicara dalam kesurupan tuan puteri raja Margolang. Puteri itu mengatakan jikalau semuanya rindu kepadanya datanglah ketepi sungai di Ulak Putar pada malam bulan purnama, mereka akan dapat melihat tuan puteri keluar dari dasar sungai dan timbul dipermukaan sungai Asahan. Kemudian diambilnya mangkuk putih yang berisi air, dan limau perut di potong-potong ke dalam mangkuk putih, sambil membacakan jampi-jampi seperti syairnya seperti ini :
Batang puan batang cendana
batang dengan kayu daeknya
datang tuan datanglah nyawa
datang dengan budi baiknya
hendak diruang tidak teruang
sudah menjadi sibuluh gading
hendak dibuang tidak terbuang
sudah menjadi sidarah daging
Selesai membacakan jampi itu, katanya air dimangkuk itu agar disapukan kesekujur tubuh mak inang yang sakit. Begitu habis puteri itu berbicara, iapun terguling menelentang di lantai. Kelihatannya mak inang sangat letih, lalu pingsan tak sadarkan diri.
Si Buritan mengambil air yang dimangkuk putih itu, lalu menyapukannya ke sekujur tubuh mak inang. Secara tak disangka-sangka, mak inang sadar kembali dan kelihatannya sudah sembuh kembali seperti sedia kala. Beliau sangat heran dan tercengang-cengang melihat kesekeliling ruangan, kemudian menanyakan tentang apa yang telah berlaku atas dirinya. Seluruh kejadian itu diceritakan oleh si Buritan, sehingga mak inang dapat sembuh. Bukan main besarnya hati mak inang atas penjelasan itu. Rupanya apa yang dipesankan oleh sang puteri raja itu memang benar-benar terlaksana. Ia berjanji akan tetap memuja mambang tuan puteri sampai akhir hayatnya.
Menjelang bulan purnama mereka semua berkumpul di Ulak Putar untuk menyaksikan apa yang pernah diceritakan oleh mambang sang puteri ketika menyusup ketubuh mak inang itu. Benarlah seperti apa yang dikatakan mambang itu, sekonyong-konyong dari permukaan sungai itu terlihatlah sesosok tubuh, dari keremangan cahaya bulan jelas terlihat tuan puteri raja sambil melambai-lambaikan tangannya. Semuanya terpukau melihat kejadian itu. Beberapa saat kemudian tuan puteri itu kembali menghilang ke dasar sungai. Begitulah setiap bulan purnama, mereka datang ke tepi sungai untuk menyaksikan kehadiran sang puteri. Akhirnya mak inang menjadi pawang dan dukun yang dapat mengobati berbagai macam penyakit, dan dibantu oleh ketiga nelayan itu. Perbuatan ini berlaku terus turun-temurun yang disebut "Upacara Syiar Mambang"
S E L E S A I
wassalam (editor manca cima) Kisaran 2010
Bertutur tentang kisah terciptanya lagu Didong, Aloban Condong, tari Gubang dan tari Patam-patam serta Peranan Pantun dalam adat istiadat perkawinan suku melayu Asahan.(Bagi yang berminat untuk mempelajari tari-tari melayu khususnya daerah melayu Asahan) atau untuk mengetahui legenda seperti yang dituturkan silahkan hubungi kami di..Jln.Sei Piasa no.6 A Kisaran Kabupaten Asahan ,Sumatera Utara-Indonesia
Kamis, 24 Juni 2010
Selasa, 22 Juni 2010
Bahagian IV
Sepeninggal nelayan yang telah dapat menyembuhkan sang putri raja Margolang di Huta Bayu, maka baginda Raja Margolang senantiasa memperhatikan kehidupan rakyatnya. Pada masa itu sungai adalah jalan raya atau lalu lintas yang sangat vital. Sungai Asahan adalah sungai yang besar berarti daerah yang ada disekitarnya menjadi amat berharga. Daerah disepanjang sungai Asahan dibagi-bagi raja kepada keluarga keturunan raja Margolang. Kemudian bagi keluarga yang agak jauh menurut susunan keluarga raja diberikan daerah sungai-sungai kecil (anak sungai). Sedangkan penduduk yangmenjadi rakyatnya dibagi daerah agak kepedalaman. Negeri itu menjadi negeri yang rukun dan damai dibawah pemerintahan baginda Raja Margolang dan penduduk merasakan hidup aman dan sejahtera.
Tak berapa lama berselang baginda Raja Margolang mangkat. Berita mangkatnya baginda raja Margolang tersebar ke seluruh pelosok negeri itu. Nelayan yang tinggal di Pasobahan puntidak ketinggalan menghadiri acara kematian di Huta Bayu. Upacara kematian ini dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam. Nelayan yang tiga orang itu turut mengambil bagian dalam upacara sebagai pemain musik (margondang)
Seluruh anggota keluarga terdekat dengan baginda raja Margolang beserta penduduk yang ikut dalam upacara kematian itu menari (manggual) dekat mayat baginda Raja, agar roh (tondi) dari baginda raja dapat diterima menjadi begu (mambang) yang tidak mengganggu anak cucunya kelak kemudian hari. Pada tari persatuan (tari bersama) yang terakhir dilangsungkan dengan memberikan tanda kesayangan, yaitu orang yang paling rapat dengan si mati (istri) memberikan sehelai kain kepunyaan baginda raja beserta pisau dan tungkat kepada saudara sanak bapak (waris) dengan baginda raja dengan perantara puteri raja boru Margolang.
Setelah tujuh hari tujuh malam lamanya upacara margondang itu, tibalah masanya acara penguburan. Seluruh penduduk negeri berkumpul pada acara duka cita untuk menunjukkan bakti terakhir mereka kepada raja, yaitu turut memikul usungan mayat baginda raja ke pekuburan. Usungan itu dibuat dari 2 batang pohon pinang yang telah cukup tinggi lalu di kupas kulitnya , kemudian mayat baginda raja di telentangkan, muka menghadap keatas, dan kakinya membujur kemuka, maksudnya diperbuat demikian supaya ia jangan dapat menoleh ke kampung dan lagi supaya roh-roh dari orang-orang yang berarak dibelakang mayat itu tidak dapat berpandangan muka dengan roh si mati.
Di dekat mayat dihias dengan lipan-lipan yang terbuat dari daun pandan dan disisipkan bunga-bunga yang wangi-wangi. Di bahagian kepala mayat dipasang sebuah payung dan didekat kepala mayat duduklah permaisuri raja sambil menabur-nabur bunga rampai yang didalamnya bercampur dengan wang gobang di sepanjang jalan sampai ke pekuburan, sambil meratapi kepergian baginda raja Margolang yang sangat dicintainya. Anak-anak berebutan mengutip wang gobang yang ditabur itu. Para penduduk beramai-ramai memikul mayat itu secara berganti-ganti.
Di Kotamadya Tanjung Balai cara pengusungan mayat seperti ini masih saja berlangsung seperti legenda ini, tetapi mayat di letakkan di dalam keranda (peti mayat) yang bentuknya seperti tepak sirih yang besar. Para keluarga yang ikut naik keatas usungan, ini hanya berlaku pada keluarga Kesultanan Asahan, sedangkan bagi rakyat biasa tidak pernah dilakukan. Sedangkan menghiasi keranda dengan lipan-lipan dan daun pandan yang dirangkai sampai saat ini masih banyak yang melakukannya, dan bunga rampai tidak ditabur sepanjang jalan, tetapi di bawa kepekuburan, setelah mayat selesai di timbun dan dipasang patok (tanda) dari ranting kayu atau sengaja dibuatkan dari papan sewaktu membuat keranda. Patok ini dipasang sebelum dibuatkan batu nisan.Setelah pemasangan patok, barulah bunga rampai di tabur antara patok dengan patok sebanyak tiga kali berulang-ulang, dimulai dari sebelah kepala kearah kaki. Kebudayaan memakai bunga rampai ini, sekarang telah mulai berkurang karena tidak sesuai dengan ajaran agama islam dan diganti dengan membawa air bersih di dalam botol kemudian disiramkan keatas kuburan itu sambil berdo'a.
Setelah mangkatnya baginda raja Margolang, seluruh anggota keluarga masih dalam keadaan berkabung dan merasa sedih. Selama tiga malam diadakan jamuan dimulai dengan pemasanngan perasapan (membakar kemenyan) acarapun di mulai. Bunyi-bunyian mulai di tabuh sambil bernyanyi untuk menghibur keluarga raja yang dalam kesedihan itu.
Setelah 7 hari lamanya jenazah baginda dikebumikan dibuatlah acara jamuan kepad roh (mambang) dari baginda raja, agar jangan datang mengganggu sanak keluarganya, maka dibuatlah ayam panggang beserta makanan lainnya seperti; pulut, bertih,gula inti berikut rokok daun, tembakau dan sirih sekapur kemudian dibakarlah kemenyan.
Seluruh rakyat di suruh ikut menghadiri upacara ini, dan memakan jamuan yang disediakan setelah berakhirnya pembacaan jampi-jampi. Peringatan ini dibuat lagi setelah jenazah dikebumikan selama 40 hari, berikutnya selama 100 hari.
Kebudayaan ini masih terus berlangsung sampai sekarang, dinamai acara tahlilan (baca Qulhu) selama 3 malam, disesuaikan dengan ajaran islam dengan membaca Al Qur'an secara bersama-sama, gunanya untuk menghibur yang ditimpa musibah. Juga membuat jamuan kenduri setelah 7 hari, 40 hari dan 100 hari disebut "kenduri" menujuh hari, mengempat puluh hari dan meratus hari dengan mengirim do'a agar kepada jenazah yang telah meninggal itu dilapangkan dalam kuburnya dan bagi keluarga yang ditimpa musibah mendapat ketabahan hati dan kesabaran atas kesedihan yang menimpa keluarga.
Kebudayaan ini adalah kebudayaan campuran (pembauran), dengan itu terjadilah kebudayaan Islam di dalam masyarakat Tanjung Balai dan sekitarnya.
Upacara yang dilakukan dengan menggunakan jamuan berupa:pulut, inti gula,pisang dan bertih (padi digoreng hingga kembang) dilakukan pada acara "tolak bala" , agar terhindar dari bala yaitu pada acara :pindah rumah, menurunkan sampan ke laut, jamu laut, mengusir penyakit dan lain-lain. Kebudayaan ini terus berkembang hingga sekarang.
Setelah enam purnama lamanya baginda raja Margolang mangkat, menyusul pula lah permaisuri Raja ibunda dari putri Raja Boru Margolang menghembuskan nafasnya yang terakhir, meninggalkan puterinya hanya seorang diri. Bukan main bertambah sedihnya hati putri raja itu karena goresan hati atas meninggalnya ayahandanya itu belum lagi hilang dari pelupuk matanya, masih terbayang-bayang dalam pandangan bagaimana kasih sayang ayahanda kepadanya. Kini ibunya pula menyusul ayahandanya. Jerit tangis dan raungan tuan puteri membuat seluruh istana merasa teriris sedih. Bukan main ramainya jerit tangis, dimana para dayang-dayang tidak pula ketinggalan meratapi sang putri yang sedang digeluti kesedihan yang tidak terperikan itu.
Puter raja beberapa kali jatuh pingsan tak sadarkan diri, beliau tidak menyangka begitu cepatnya kehilangan dua orang yang dikasihinya. Tidak ada lagi tempat bermanja selain mak inang pengasuh yang telah mengasuhnya sejak dari kecil. Mak inang pengasuh tidfak jemu-jemunya menghibur tuan puteri agar jangan jatuh sakit. Mak inang pengasuh sebagai ganti orang tuanya yang telah tiada, kasih sayangnya ditumpahkan kepada mak inang. Segala persoalan yang tidak dapat dipecahkannya selalu disampaikannya kepada mak inang
Sepeninggal nelayan yang telah dapat menyembuhkan sang putri raja Margolang di Huta Bayu, maka baginda Raja Margolang senantiasa memperhatikan kehidupan rakyatnya. Pada masa itu sungai adalah jalan raya atau lalu lintas yang sangat vital. Sungai Asahan adalah sungai yang besar berarti daerah yang ada disekitarnya menjadi amat berharga. Daerah disepanjang sungai Asahan dibagi-bagi raja kepada keluarga keturunan raja Margolang. Kemudian bagi keluarga yang agak jauh menurut susunan keluarga raja diberikan daerah sungai-sungai kecil (anak sungai). Sedangkan penduduk yangmenjadi rakyatnya dibagi daerah agak kepedalaman. Negeri itu menjadi negeri yang rukun dan damai dibawah pemerintahan baginda Raja Margolang dan penduduk merasakan hidup aman dan sejahtera.
Tak berapa lama berselang baginda Raja Margolang mangkat. Berita mangkatnya baginda raja Margolang tersebar ke seluruh pelosok negeri itu. Nelayan yang tinggal di Pasobahan puntidak ketinggalan menghadiri acara kematian di Huta Bayu. Upacara kematian ini dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam. Nelayan yang tiga orang itu turut mengambil bagian dalam upacara sebagai pemain musik (margondang)
Seluruh anggota keluarga terdekat dengan baginda raja Margolang beserta penduduk yang ikut dalam upacara kematian itu menari (manggual) dekat mayat baginda Raja, agar roh (tondi) dari baginda raja dapat diterima menjadi begu (mambang) yang tidak mengganggu anak cucunya kelak kemudian hari. Pada tari persatuan (tari bersama) yang terakhir dilangsungkan dengan memberikan tanda kesayangan, yaitu orang yang paling rapat dengan si mati (istri) memberikan sehelai kain kepunyaan baginda raja beserta pisau dan tungkat kepada saudara sanak bapak (waris) dengan baginda raja dengan perantara puteri raja boru Margolang.
Setelah tujuh hari tujuh malam lamanya upacara margondang itu, tibalah masanya acara penguburan. Seluruh penduduk negeri berkumpul pada acara duka cita untuk menunjukkan bakti terakhir mereka kepada raja, yaitu turut memikul usungan mayat baginda raja ke pekuburan. Usungan itu dibuat dari 2 batang pohon pinang yang telah cukup tinggi lalu di kupas kulitnya , kemudian mayat baginda raja di telentangkan, muka menghadap keatas, dan kakinya membujur kemuka, maksudnya diperbuat demikian supaya ia jangan dapat menoleh ke kampung dan lagi supaya roh-roh dari orang-orang yang berarak dibelakang mayat itu tidak dapat berpandangan muka dengan roh si mati.
Di dekat mayat dihias dengan lipan-lipan yang terbuat dari daun pandan dan disisipkan bunga-bunga yang wangi-wangi. Di bahagian kepala mayat dipasang sebuah payung dan didekat kepala mayat duduklah permaisuri raja sambil menabur-nabur bunga rampai yang didalamnya bercampur dengan wang gobang di sepanjang jalan sampai ke pekuburan, sambil meratapi kepergian baginda raja Margolang yang sangat dicintainya. Anak-anak berebutan mengutip wang gobang yang ditabur itu. Para penduduk beramai-ramai memikul mayat itu secara berganti-ganti.
Di Kotamadya Tanjung Balai cara pengusungan mayat seperti ini masih saja berlangsung seperti legenda ini, tetapi mayat di letakkan di dalam keranda (peti mayat) yang bentuknya seperti tepak sirih yang besar. Para keluarga yang ikut naik keatas usungan, ini hanya berlaku pada keluarga Kesultanan Asahan, sedangkan bagi rakyat biasa tidak pernah dilakukan. Sedangkan menghiasi keranda dengan lipan-lipan dan daun pandan yang dirangkai sampai saat ini masih banyak yang melakukannya, dan bunga rampai tidak ditabur sepanjang jalan, tetapi di bawa kepekuburan, setelah mayat selesai di timbun dan dipasang patok (tanda) dari ranting kayu atau sengaja dibuatkan dari papan sewaktu membuat keranda. Patok ini dipasang sebelum dibuatkan batu nisan.Setelah pemasangan patok, barulah bunga rampai di tabur antara patok dengan patok sebanyak tiga kali berulang-ulang, dimulai dari sebelah kepala kearah kaki. Kebudayaan memakai bunga rampai ini, sekarang telah mulai berkurang karena tidak sesuai dengan ajaran agama islam dan diganti dengan membawa air bersih di dalam botol kemudian disiramkan keatas kuburan itu sambil berdo'a.
Setelah mangkatnya baginda raja Margolang, seluruh anggota keluarga masih dalam keadaan berkabung dan merasa sedih. Selama tiga malam diadakan jamuan dimulai dengan pemasanngan perasapan (membakar kemenyan) acarapun di mulai. Bunyi-bunyian mulai di tabuh sambil bernyanyi untuk menghibur keluarga raja yang dalam kesedihan itu.
Setelah 7 hari lamanya jenazah baginda dikebumikan dibuatlah acara jamuan kepad roh (mambang) dari baginda raja, agar jangan datang mengganggu sanak keluarganya, maka dibuatlah ayam panggang beserta makanan lainnya seperti; pulut, bertih,gula inti berikut rokok daun, tembakau dan sirih sekapur kemudian dibakarlah kemenyan.
Seluruh rakyat di suruh ikut menghadiri upacara ini, dan memakan jamuan yang disediakan setelah berakhirnya pembacaan jampi-jampi. Peringatan ini dibuat lagi setelah jenazah dikebumikan selama 40 hari, berikutnya selama 100 hari.
Kebudayaan ini masih terus berlangsung sampai sekarang, dinamai acara tahlilan (baca Qulhu) selama 3 malam, disesuaikan dengan ajaran islam dengan membaca Al Qur'an secara bersama-sama, gunanya untuk menghibur yang ditimpa musibah. Juga membuat jamuan kenduri setelah 7 hari, 40 hari dan 100 hari disebut "kenduri" menujuh hari, mengempat puluh hari dan meratus hari dengan mengirim do'a agar kepada jenazah yang telah meninggal itu dilapangkan dalam kuburnya dan bagi keluarga yang ditimpa musibah mendapat ketabahan hati dan kesabaran atas kesedihan yang menimpa keluarga.
Kebudayaan ini adalah kebudayaan campuran (pembauran), dengan itu terjadilah kebudayaan Islam di dalam masyarakat Tanjung Balai dan sekitarnya.
Upacara yang dilakukan dengan menggunakan jamuan berupa:pulut, inti gula,pisang dan bertih (padi digoreng hingga kembang) dilakukan pada acara "tolak bala" , agar terhindar dari bala yaitu pada acara :pindah rumah, menurunkan sampan ke laut, jamu laut, mengusir penyakit dan lain-lain. Kebudayaan ini terus berkembang hingga sekarang.
Setelah enam purnama lamanya baginda raja Margolang mangkat, menyusul pula lah permaisuri Raja ibunda dari putri Raja Boru Margolang menghembuskan nafasnya yang terakhir, meninggalkan puterinya hanya seorang diri. Bukan main bertambah sedihnya hati putri raja itu karena goresan hati atas meninggalnya ayahandanya itu belum lagi hilang dari pelupuk matanya, masih terbayang-bayang dalam pandangan bagaimana kasih sayang ayahanda kepadanya. Kini ibunya pula menyusul ayahandanya. Jerit tangis dan raungan tuan puteri membuat seluruh istana merasa teriris sedih. Bukan main ramainya jerit tangis, dimana para dayang-dayang tidak pula ketinggalan meratapi sang putri yang sedang digeluti kesedihan yang tidak terperikan itu.
Puter raja beberapa kali jatuh pingsan tak sadarkan diri, beliau tidak menyangka begitu cepatnya kehilangan dua orang yang dikasihinya. Tidak ada lagi tempat bermanja selain mak inang pengasuh yang telah mengasuhnya sejak dari kecil. Mak inang pengasuh tidfak jemu-jemunya menghibur tuan puteri agar jangan jatuh sakit. Mak inang pengasuh sebagai ganti orang tuanya yang telah tiada, kasih sayangnya ditumpahkan kepada mak inang. Segala persoalan yang tidak dapat dipecahkannya selalu disampaikannya kepada mak inang
Senin, 21 Juni 2010
Bahagian III
Ketiga nelayan itu berjalan menuju tangkahan, dimana perahu mereka di tambat. Dengan perlahan-lahan mereka mendorong perahunya dan mulailah mereka menaiki perahu itu.
Tak henti-hentinya mereka memandang kearah istana Huta Bayu. Mereka bertiga mulailah berangkat dengan hati yang teguh meninggalkan Huta Bayu, menuju ke hilir. Sepanjang jalan suara air kedengaran mendesah dipukul oleh pengayuh. Sambil berdendang perlahan, mereka terus berkayuh dan pantai Huta Bayu mulai hilang dari pandangan mata. Mereka merupakan tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan. Pergaulan mereka cukup akrab dan tidak mau berpisah antara satu dengan yang lainnya. Kebahagiaan yang mereka cita-citakan adalah kebahagiaan hidup bersama. Mereka berusaha untuk mengubah nasib dan membangun kehidupan yang baru sebagaimana mereka idam-idamkan. Kekompakan tiga serangkai ini ibarat istilah orang batak disebut " dalihan na tolu"
Didalam perjalanan, ketiga nelayan itu sambil melihat-lihat daerah mana yang cocok untuk menjadi tempat pemukiman mereka. Akhirnya mereka menetapkan suatu tempat yang mereka anggap cocok untuk tempat tinggal mereka bertiga. Perlahan-lahan perahu itu mulai merapat kedaratan. Si Haluan menambatkan perahu itu pada batang pohon aloban yang condong kesungai. Mereka pun naiklah kedarat dan melihat tempat yang akan dijadikan kampung halaman mereka itu sangat baik untuk bertanam padi. Sangkin gembiranya mereka bertiga menari-nari sambil menyanyikan lagu yang merupakan pemujaan terhadap pohon aloban condong itu. (Menurut kepercayaan mereka pada pohon aloban condong itu sangat besar penunggunya atau mambangnya).
Syair lagu aloban condong.
Aloban condong merah bungonyo
Daun ditarak timboku mandi
Kalo ku tau dari samulo
Tidaklah akan mengikat janji
Lopas pundi di halaman
Kusangko tidak babungo lagi
Sudah bajanji bajabat salam
Kusangko tidak barubah lagi
Ayam kurik kulabu sontang
Mati tatambat di limo manis
Awang mudik haripun potang
Bontang tikar tunduk manangis
Setelah mereka merasa letih, beristirahatlah mereka untuk mengisi perut yang kosong, si Haluan mendekati pohon aloban condong sambil berseru " hai aloban condong, engkaulah sebagai saksi kami, kami bertiga orang yang pertama di tempat ini. Daerah ini kami namakan " Pasombahan", kelak kalau sudah menjadi ramai, buktikanlah bahwa tidak akan ada orang yang kaya dan berkuasa di tempat ini, selain nelayan seperti kami"
Desa Persembahan terletak dekat hutan Nantalu tempat orang menebang kayu. Menurut para penebang kayu sampai sekarang daerah ini masih angker. Pada malam hari terdengar suara ramai sekali, tetapi orangnya tidak kelihatan. Suara yang ramai itu disebut bunyian, atau orang halus. Didalam hutan ini tidak boleh tapacah-pacah atau bicara yang tidak senonoh. Dan jika masuk kedalam hutan itu harus mengnucapkan " tabik datuk, anak cucu mau lewat" Barang siapa yang melanggar segala pantangan ini akan mendapat kesulitan di dalam hutan atau hilang tak tentu rimbanya.
Akhirnya mereka dengan giatnya membuka hutan di Pasombahan itu dan menanaminya dengan padi.Padi itu tumbuh subur sekali, mereka tidak menyangka akan mendapatkan hasil yang berlipat ganda. Semangat mereka hidup kembali karena tidak akan melarat lagi. Di waktu senggang mereka memancing ikan di sungai sebagai tambahan penghasilan mereka . Dimasa habis panen, mereka bukan main gembiranya dan menari-nari. Tarian itu sampai sekarang dikenal dengan nama "Tari patam-patam" (Padi ketam-padi ketam)
Tari ini sampai sekarang tetap dilakukan dalam suasan riang gembira, baik di desa pelosok-pelosok maupun kota. Biasanya dilakukan dalam rangka ; acara adat turun keladang, sehabis panen, pesta perkawinan pada waktu malam berinai, menyiar mambang dan menyambut pembesar yang datang, atau hari-hari besar kenegaraan.
Tari ini cukup diiringi dengan alat musik tradisional piul(biola), bangsi atau serunai, gendang dan tawak-tawak(gong) Kadang-kadang ada juga yang menambahkan dengan alat musik tradisonal lainnya seperti gambang yang terbuat dari kayu-kayu disusun dengan bunyi yang berbeda atau merupakan not.
Ketiga nelayan itu berjalan menuju tangkahan, dimana perahu mereka di tambat. Dengan perlahan-lahan mereka mendorong perahunya dan mulailah mereka menaiki perahu itu.
Tak henti-hentinya mereka memandang kearah istana Huta Bayu. Mereka bertiga mulailah berangkat dengan hati yang teguh meninggalkan Huta Bayu, menuju ke hilir. Sepanjang jalan suara air kedengaran mendesah dipukul oleh pengayuh. Sambil berdendang perlahan, mereka terus berkayuh dan pantai Huta Bayu mulai hilang dari pandangan mata. Mereka merupakan tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan. Pergaulan mereka cukup akrab dan tidak mau berpisah antara satu dengan yang lainnya. Kebahagiaan yang mereka cita-citakan adalah kebahagiaan hidup bersama. Mereka berusaha untuk mengubah nasib dan membangun kehidupan yang baru sebagaimana mereka idam-idamkan. Kekompakan tiga serangkai ini ibarat istilah orang batak disebut " dalihan na tolu"
Didalam perjalanan, ketiga nelayan itu sambil melihat-lihat daerah mana yang cocok untuk menjadi tempat pemukiman mereka. Akhirnya mereka menetapkan suatu tempat yang mereka anggap cocok untuk tempat tinggal mereka bertiga. Perlahan-lahan perahu itu mulai merapat kedaratan. Si Haluan menambatkan perahu itu pada batang pohon aloban yang condong kesungai. Mereka pun naiklah kedarat dan melihat tempat yang akan dijadikan kampung halaman mereka itu sangat baik untuk bertanam padi. Sangkin gembiranya mereka bertiga menari-nari sambil menyanyikan lagu yang merupakan pemujaan terhadap pohon aloban condong itu. (Menurut kepercayaan mereka pada pohon aloban condong itu sangat besar penunggunya atau mambangnya).
Syair lagu aloban condong.
Aloban condong merah bungonyo
Daun ditarak timboku mandi
Kalo ku tau dari samulo
Tidaklah akan mengikat janji
Lopas pundi di halaman
Kusangko tidak babungo lagi
Sudah bajanji bajabat salam
Kusangko tidak barubah lagi
Ayam kurik kulabu sontang
Mati tatambat di limo manis
Awang mudik haripun potang
Bontang tikar tunduk manangis
Setelah mereka merasa letih, beristirahatlah mereka untuk mengisi perut yang kosong, si Haluan mendekati pohon aloban condong sambil berseru " hai aloban condong, engkaulah sebagai saksi kami, kami bertiga orang yang pertama di tempat ini. Daerah ini kami namakan " Pasombahan", kelak kalau sudah menjadi ramai, buktikanlah bahwa tidak akan ada orang yang kaya dan berkuasa di tempat ini, selain nelayan seperti kami"
Desa Persembahan terletak dekat hutan Nantalu tempat orang menebang kayu. Menurut para penebang kayu sampai sekarang daerah ini masih angker. Pada malam hari terdengar suara ramai sekali, tetapi orangnya tidak kelihatan. Suara yang ramai itu disebut bunyian, atau orang halus. Didalam hutan ini tidak boleh tapacah-pacah atau bicara yang tidak senonoh. Dan jika masuk kedalam hutan itu harus mengnucapkan " tabik datuk, anak cucu mau lewat" Barang siapa yang melanggar segala pantangan ini akan mendapat kesulitan di dalam hutan atau hilang tak tentu rimbanya.
Akhirnya mereka dengan giatnya membuka hutan di Pasombahan itu dan menanaminya dengan padi.Padi itu tumbuh subur sekali, mereka tidak menyangka akan mendapatkan hasil yang berlipat ganda. Semangat mereka hidup kembali karena tidak akan melarat lagi. Di waktu senggang mereka memancing ikan di sungai sebagai tambahan penghasilan mereka . Dimasa habis panen, mereka bukan main gembiranya dan menari-nari. Tarian itu sampai sekarang dikenal dengan nama "Tari patam-patam" (Padi ketam-padi ketam)
Tari ini sampai sekarang tetap dilakukan dalam suasan riang gembira, baik di desa pelosok-pelosok maupun kota. Biasanya dilakukan dalam rangka ; acara adat turun keladang, sehabis panen, pesta perkawinan pada waktu malam berinai, menyiar mambang dan menyambut pembesar yang datang, atau hari-hari besar kenegaraan.
Tari ini cukup diiringi dengan alat musik tradisional piul(biola), bangsi atau serunai, gendang dan tawak-tawak(gong) Kadang-kadang ada juga yang menambahkan dengan alat musik tradisonal lainnya seperti gambang yang terbuat dari kayu-kayu disusun dengan bunyi yang berbeda atau merupakan not.
Minggu, 20 Juni 2010
Para penebang kayu, sepulangnya dari hutan dengan memakai gebeng atau rakit, menari-nari riang gembira sambil melepaskan lelahnya di dalam perjalanan menuju pulang untuk menemui keluarganya yang telah sebulan lamanya ditinggalkan. Maka sebahagian penduduk mengatakan kata "gubang" berasal dari "gebeng" Baginda Raja melihat perbuatan ketiga nelayan itu merasa tersinggung dan marah sekali. " Hentikan....!!!,apa maksud kamu ini hai nelayan"!! hardik baginda Raja. "Mohon ma'af dan ampun kebawah duli tuanku, sebenarnya kami ingin menunjukkan bakti kami kepada tuanku. Air sirih ini ibarat warna darah kami, yang rela berkorban kepada tuanku sampai titik darah terakhir serta senantiasa taat dan setia terhadap segala titah tuanku sampai akhir hayat kami" jawab si Timba ruang.
Begitu mendengar ucapan nelayan itu secara spontan hilanglah marah baginda Raja, dan bukan main besar hatinya mendengar sanjungan para nelayan itu, sembari menyerahkan pundi-pundi wang gobang yang telah diambilkan oleh permaisuri tadi.
"Nah kalau begitu terimalah hadiah dari beta untuk kamu bertiga" seru baginda Raja.
"Ampun beribu ampun, patik sembahkan beserta terima kasih yang tak terhingga kami haturkan kepada Tuanku junjungan kami, karena kami tidak memerlukannya" ucap si Timba ruang. " Bagaimana kalau beta tukar gobang ini dengan emas dan permata?" balas baginda Raja.
"Sekali lagi hamba mohon ampun dan maaf kebawah duli tuanku, kami nelayan yang hina dan miskin ini tidak mempunyai rumah tempat tinggal yang tetap, rumah kami hanyalah sebuah perahu yang telah buruk, dimana perahu kami bertambat disitulah kami beristirahat. Kalau Tuanku memberi gobang, emas atau permata, kami takut kalau-kalau nyawa kami akan berpisah dari badan, dibunuh oleh para lanun-lanun di laut. Pinta kami kalau ijin tuanku berkenan memberikan kepada kami barang sejengkal tanah buat tempat kami berpijak untuk dapat menyambung hidup kami yang nyaris ditelan ombak dan badai yang bukan main dahsyatnya di tengah lautan" kata si Haluan
"Baiklah kalau itu yang kamu pinta, beta tidak berkeberatan, beta hadiahkan daratan yang ada dihilir Sungai Asahan, sejauh mata memandang akan menjadi milik kamu bertiga, sebagai ganti persembahan kamu kepada beta..Kerjakan dan rawatlah tanah itu sebaik-baiknya dan manfaatkanlah hasil tanah itu untuk penghidupan kamu bertiga". Kata baginda Raja.
"Terima kasih, terima kasih ke bawah duli tuanku.Tidaklah dapat kami menceritakan bagaimana besarnya hati kami ini, menerima anugrah tuanku yang tiada terhingga dan budi baik tuanku tiada dapat kami balas. Kami berjanji akan merawat pemberian tuanku itu dengan sebaik-baiknya sebagai bukti sembah bakti kami ke bawah duli tuanku" sahut dibarengi dengan sembah si Timba ruang.
Setelah mendengarkan segala ucapan ayahandanya itu, bukan main besarnya hati puteri raja mendengar keputusan yang arif dan bijaksana sebagai Raja yang dimuliakan oleh hamba rakyatnya. Juga sang puteri merasa bangga terhadap ayahandanya karena telah dapat berbuat suatu keadilan terhadap rakyatnya yang miskin dan sangat melarat.
Ketiga nelayan itu menghaturkan sembahnya serta mengundurkan diri dan mulai beranjak perlahan-lahan keluyar dari istana, berangkat menuju arah hilir menyusuri sungai Asahan untuk mencari tanah yang cocok dan sesuai dengan keinginan mereka sebagai tempat tinggal dan dapat bercocok tanam sebagaimana yang telah dikatakan oleh baginda Raja Margolang yang mana bijaksana dan sangat baik hati. Mereka tidak menyangka bahwa akan mendapat rejeki yang tidak disangka-sangka. Tidak pernah terlintas dalam benak mereka akan mendapat tempat tinggal yang menetap selama ini. Dengan serta merta merekapun memuja roh leluhur mereka, agar senatiasa mendapat keselamatan.
Begitu mendengar ucapan nelayan itu secara spontan hilanglah marah baginda Raja, dan bukan main besar hatinya mendengar sanjungan para nelayan itu, sembari menyerahkan pundi-pundi wang gobang yang telah diambilkan oleh permaisuri tadi.
"Nah kalau begitu terimalah hadiah dari beta untuk kamu bertiga" seru baginda Raja.
"Ampun beribu ampun, patik sembahkan beserta terima kasih yang tak terhingga kami haturkan kepada Tuanku junjungan kami, karena kami tidak memerlukannya" ucap si Timba ruang. " Bagaimana kalau beta tukar gobang ini dengan emas dan permata?" balas baginda Raja.
"Sekali lagi hamba mohon ampun dan maaf kebawah duli tuanku, kami nelayan yang hina dan miskin ini tidak mempunyai rumah tempat tinggal yang tetap, rumah kami hanyalah sebuah perahu yang telah buruk, dimana perahu kami bertambat disitulah kami beristirahat. Kalau Tuanku memberi gobang, emas atau permata, kami takut kalau-kalau nyawa kami akan berpisah dari badan, dibunuh oleh para lanun-lanun di laut. Pinta kami kalau ijin tuanku berkenan memberikan kepada kami barang sejengkal tanah buat tempat kami berpijak untuk dapat menyambung hidup kami yang nyaris ditelan ombak dan badai yang bukan main dahsyatnya di tengah lautan" kata si Haluan
"Baiklah kalau itu yang kamu pinta, beta tidak berkeberatan, beta hadiahkan daratan yang ada dihilir Sungai Asahan, sejauh mata memandang akan menjadi milik kamu bertiga, sebagai ganti persembahan kamu kepada beta..Kerjakan dan rawatlah tanah itu sebaik-baiknya dan manfaatkanlah hasil tanah itu untuk penghidupan kamu bertiga". Kata baginda Raja.
"Terima kasih, terima kasih ke bawah duli tuanku.Tidaklah dapat kami menceritakan bagaimana besarnya hati kami ini, menerima anugrah tuanku yang tiada terhingga dan budi baik tuanku tiada dapat kami balas. Kami berjanji akan merawat pemberian tuanku itu dengan sebaik-baiknya sebagai bukti sembah bakti kami ke bawah duli tuanku" sahut dibarengi dengan sembah si Timba ruang.
Setelah mendengarkan segala ucapan ayahandanya itu, bukan main besarnya hati puteri raja mendengar keputusan yang arif dan bijaksana sebagai Raja yang dimuliakan oleh hamba rakyatnya. Juga sang puteri merasa bangga terhadap ayahandanya karena telah dapat berbuat suatu keadilan terhadap rakyatnya yang miskin dan sangat melarat.
Ketiga nelayan itu menghaturkan sembahnya serta mengundurkan diri dan mulai beranjak perlahan-lahan keluyar dari istana, berangkat menuju arah hilir menyusuri sungai Asahan untuk mencari tanah yang cocok dan sesuai dengan keinginan mereka sebagai tempat tinggal dan dapat bercocok tanam sebagaimana yang telah dikatakan oleh baginda Raja Margolang yang mana bijaksana dan sangat baik hati. Mereka tidak menyangka bahwa akan mendapat rejeki yang tidak disangka-sangka. Tidak pernah terlintas dalam benak mereka akan mendapat tempat tinggal yang menetap selama ini. Dengan serta merta merekapun memuja roh leluhur mereka, agar senatiasa mendapat keselamatan.
Bagian II
Di daratan yang berkuasa atas daerah tempat tinggal ketiga nelayan itu bermukim, adalah sebuah kerajaan di hulu sungai Asahan, yang berpusat di Huta Bayu dekat daerah Bnadar Pulau Kabupaten Asahan. Di dalam negeri itu memerintahlah seorang raja yang berasal dari gunung, yaitu dari Tanah Batak yang bernama Raja Margolang.. Beliau memeintah di negeri itu jauh sebelum masuknya pengaruh agama Islam di daerah itu. Kepercayaan yang dianut oleh penduduk negeri itu ketika itu adalah " Pelbegu" ,yaitu takut kepada roh jahat (mambang) yang dapat mengganggu kehidupan dan kebahagiaan hidup di dunia ini.
Raja Margolang ini mempunyai seorang puteri yang cantik jelita. Baginda Raja sangat menyayangi dan memanjakan puterinya ini, sehingga puterinya tidak dibenarkan keluar dari istana, karena takut kalau-kalau di ganggu roh jahat, begu atau binatang buas.
Ketika sang puteri Raja boru Margolang sedang duduk-duduk di anjungan istana, tiba-tiba ia tersentak oleh suara andungan kesedihan dari kejauhan dengan diiringi suara musik yang sanagt memilukan hati sang Puteri. Hatinya perih mendengar suara yang dibawa oleh angin dari arah laut. Sang puteri Raja ingin mengetahui siapakah yang melagukan andungan yang menyedihkan itu. Segera di panggilnya Inang Pengasuh. "Hai ,mak inang", panggil sang puteri "Ampun patik tuan puteri", sahut mak inang pengasuh dengan sembahnya. "Coba mak inang selidiki dan cari suara siapakah yang menyanyi dengan andungan yang menyedihkan itu?" kata sang puteri "Segera patik menjunjung perintah" jawabmak inang pengasuh. Maka berangkatlah mak inang dengan sebuah perahu cukup dengan persediaan perbekalan di jalan, menyusuri sungai Asahan menuju daerah pantai dimana suara itu terdengar.
Setelah seharian di dalam perjalanannya, maka sampailah mak inang di daerah si Rantau (sekarang disebut Pantai Olang di pinggir Sungai Silau di Kotamadya Tanjung Balai). Terlihat olehnya tiga orang nelayan dengan sampan hitam dan berlayar warna putih. Nelayan yang di dalam sampan itu terus saja meng-andungkan lagu diiringi suara bangsi dan gendang. Mak inang mendengarkan andungan itu, sampai perahu itu menghilang menuju arah Lubuk Cingkam.
Setelah nelayan itu tidak nampak lagi, mak inangpun kembali ke istana untuk melaporkan dan menceritakan hasil penglihatannya itu kepada puteri Raja boru Margolang. Mak inang menceritakan seluruhnya tentang apa yang telah dilihatnya dan andungan lagu yang didengarnya sebagai berikut :
oooooooooeeeeeeeeee................
Pukullah gondang kulit biawak
Sadikitlah tidak badontum lagi
Kamano untung ondak dibawak,...............untung badan eeeee.....
Sadikit tidak barubah lagi
oooooooooeeeeeeeee.................
Apo dikocal didalam padai
Piring rotak Inderagiri
Apolah dikosal didalam hati,.................nasib badaneeeee...............
Sudah rotak takdirnya diri
oooooooooooeeeeeeeeeeeeee........
Sayang Singkarak tanah di bondung
Dibondung anak Inderagiri
Bukan salah ibu mengandung,............intan payungeeeee...............
Sudah rotak pamintak diri
Perkataan andung ini kelak berubah menjadi " Sinandong"
Setelah mendengarkan apa yang telah diceritakan oleh mak inang itu sang puteri pun lalu bersedih dan berlari menemui ayahandanya Baginda Raja, tetapi begitu ia sampai ke dalam istana, tuan puteri tertegun melihat ayahandanya dan ibundanya sedang bercumbu rayu, segera tuan puteri berbalik dan berlari ke kamarnya mengunci diri dan tidak keluar-keluar lagi. Pikiran nya kusut masai, bagaikan ada sesuatu pertentangan batin yanng dihadapinya. Berhari-hari lamanya tanpa makan dan minum. Permaisuri raja mulai gelisah melihat keadaan puterinya . Beliau tidak dapat melihat penyakit apa yang diderita puterinya, karena kamar terus-menerus terkunci dari dalam dan tak dapat dibuka, walaupun telah berulang kali di panggil-panggil namun tidak ada sahutan dari dalam, kecuali sayup-sayup terdengar isak tangis sang puteri.
Permaisuri raja resah hatinya kalau-kalau penyakit buah hatinya pengarang jantunngnya itu kian tambah melarat. Hal ini secepatnya disampaikan kepada Baginda Raja. Bukan main terkejutnya Baginda mendengar hal itu dan beliau cemas kalau-kalau cahaya matanya itu akan meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Baginda raja memanggil seluruh dayang-dayangnya untuk dimintai keterangan apakah mereka tahu sebab-musabab penyakit belahan jiwanya itu. Namun tak seorang pun yang dapat menjelaskan asal mula penyakit anandanya yang sangat dimanjanya itu.
Tiba-tiba mak inang pengasuh teringat akan kejadian tentang tiga orang nelayan yang meng-andungkan lagu yang sanngat menyedihkan pada beberapa hari yang lalu. Segeralah hal itu diceritakannya kepada Baginda Raja tentang apa yang telah terjadi sebenarnya.
Bukan main marahnya Baginda Raja mendengar laporan mak inang itu. Diperintahkan seluruh hulubalang dan pengawal untuk menangkap tiga orang nelayan yang diceritakan oleh mak inang itu untuk dihadapkan kepada Baginda Raja.
"Ampun patik tuanku, segala perintah telah hamba junjung, dan tiga orang nelayan ini hamba hadapkan ke bawah duli tuanku" Baginda Raja memandangn dengan sorot mata yang tajam kepada ketiga orang nelayan itu.
"Benarkah kamu nelayan yang berperahu hitam dan berlayar warna putih, serta meng-andung beberapa hari yang lalu?" selidik Baginda Raja. "Benar tuanku, kamilah nelayan itu" jawab ketiga nelayan itu. Baginda Raja bertambah beringas, dan menghardik " hai nelayan..!,kalian telah berlaku salah terhadap beta"!! "Kami rasa, kami tidak pernah berbuat salah ataupun tersalah melanggar hukum terhadap tuanku" ucap si Haluan. "Karena kamulah anakku menjadi gering dan sakit parah" tuduh baginda Raja dan ketiga nelayan itu tercengang heran serta tidak mengerti akan maksud Baginda Raja.
"Kamu harus dapat mengobati puteri beta, kalau puteri beta dapat sembuh segala permintaan kamu bertiga beta kabulkan, tetapi kalau kamu tidak dapat menyembuhkan penyakit puteri beta itu, maka kamu tidak dibenarkan lagi disini dan keluar meninggalkan negeri ini"
"Apalah daya kami tuanku, kami adalah orang miskin dan tidak punya apa-apa serta ilmu untuk mengobati orang sakitpun tiada" jawab si Timba ruang, dengan kecut dan pucat pasi.
"Segera laksanakan perintah beta"!! bentak Baginda Raja. Ketiga nelayan itu bertambah kecut dan lemah rasa sekujur tubuh mereka. Si Buritan merasa tak tahan hati lagi, sangkin takutnya iapun meng-andungkan lagu seperti beberapa hari yang lalu ketika di dalam sampan.
Sekonyong-konyong mendengar andungan itu, tiba-tiba puteri Raja keluar dari dalam kamarnya denngan pandangan mata yang beringas dan memandang kepada ayahandanya baginda Raja.
"Ayah telah berdusta kepada ananda, kata ayahanda seluruh rakyat di negeri ini sudah senang-senang dan tidak ada lagi yang miskin dan melarat, ternyata ketiga nelayan itu sangat melarat" seru sang puteri Raja.
"Dengarlah dulu ananda puteri beta, sebenarnya ayahanda tidak mengetahui bahwa mereka ini miskin dan melarat. Kalaulah ayahanda lebih dahulu mengetahuinya, ayahanda pasti membantu mereka agar mereka dapat hidup bahagia" sahut baginda Raja
"Dayang, ambilkan sirih tiga kapur untuk mereka bertiga, sebagai penajam obat yang telah dilakukan mereka bertiga ini"
Segera dayang masuk mengambilkan sirih tiga kapur, kemudian menyerahkan kepada baginda Raja. Baginda raja menerima sirih itu dan segera melemparkan ketiga sirih itu kehadapan ketiga nelayan itu. Secepatnya nelayan-nelayan itu menangkap sirih itu.
"Ambilkan pundi-pundi wang gobang" perintah baginda raja kepada permaisurinya. Segera permaisuri masuk kedalam mengambilkan pundi-pundi wang gobang.
Serta merta ketiga nelayan itu menyembah, langsung meletakkan sirih yang dikunyahnya itu dikedua telapak tangannya seraya memuyuh sirih itu sambil menari-nari di hadapan baginda Raja, sampai-sampai air sirih dikedua telapak tangan mereka menitik diatas lantai yang bersih di dalam istana itu. (Kelak tari ini dinamakan tari "Gubang")
Di daratan yang berkuasa atas daerah tempat tinggal ketiga nelayan itu bermukim, adalah sebuah kerajaan di hulu sungai Asahan, yang berpusat di Huta Bayu dekat daerah Bnadar Pulau Kabupaten Asahan. Di dalam negeri itu memerintahlah seorang raja yang berasal dari gunung, yaitu dari Tanah Batak yang bernama Raja Margolang.. Beliau memeintah di negeri itu jauh sebelum masuknya pengaruh agama Islam di daerah itu. Kepercayaan yang dianut oleh penduduk negeri itu ketika itu adalah " Pelbegu" ,yaitu takut kepada roh jahat (mambang) yang dapat mengganggu kehidupan dan kebahagiaan hidup di dunia ini.
Raja Margolang ini mempunyai seorang puteri yang cantik jelita. Baginda Raja sangat menyayangi dan memanjakan puterinya ini, sehingga puterinya tidak dibenarkan keluar dari istana, karena takut kalau-kalau di ganggu roh jahat, begu atau binatang buas.
Ketika sang puteri Raja boru Margolang sedang duduk-duduk di anjungan istana, tiba-tiba ia tersentak oleh suara andungan kesedihan dari kejauhan dengan diiringi suara musik yang sanagt memilukan hati sang Puteri. Hatinya perih mendengar suara yang dibawa oleh angin dari arah laut. Sang puteri Raja ingin mengetahui siapakah yang melagukan andungan yang menyedihkan itu. Segera di panggilnya Inang Pengasuh. "Hai ,mak inang", panggil sang puteri "Ampun patik tuan puteri", sahut mak inang pengasuh dengan sembahnya. "Coba mak inang selidiki dan cari suara siapakah yang menyanyi dengan andungan yang menyedihkan itu?" kata sang puteri "Segera patik menjunjung perintah" jawabmak inang pengasuh. Maka berangkatlah mak inang dengan sebuah perahu cukup dengan persediaan perbekalan di jalan, menyusuri sungai Asahan menuju daerah pantai dimana suara itu terdengar.
Setelah seharian di dalam perjalanannya, maka sampailah mak inang di daerah si Rantau (sekarang disebut Pantai Olang di pinggir Sungai Silau di Kotamadya Tanjung Balai). Terlihat olehnya tiga orang nelayan dengan sampan hitam dan berlayar warna putih. Nelayan yang di dalam sampan itu terus saja meng-andungkan lagu diiringi suara bangsi dan gendang. Mak inang mendengarkan andungan itu, sampai perahu itu menghilang menuju arah Lubuk Cingkam.
Setelah nelayan itu tidak nampak lagi, mak inangpun kembali ke istana untuk melaporkan dan menceritakan hasil penglihatannya itu kepada puteri Raja boru Margolang. Mak inang menceritakan seluruhnya tentang apa yang telah dilihatnya dan andungan lagu yang didengarnya sebagai berikut :
oooooooooeeeeeeeeee................
Pukullah gondang kulit biawak
Sadikitlah tidak badontum lagi
Kamano untung ondak dibawak,...............untung badan eeeee.....
Sadikit tidak barubah lagi
oooooooooeeeeeeeee.................
Apo dikocal didalam padai
Piring rotak Inderagiri
Apolah dikosal didalam hati,.................nasib badaneeeee...............
Sudah rotak takdirnya diri
oooooooooooeeeeeeeeeeeeee........
Sayang Singkarak tanah di bondung
Dibondung anak Inderagiri
Bukan salah ibu mengandung,............intan payungeeeee...............
Sudah rotak pamintak diri
Perkataan andung ini kelak berubah menjadi " Sinandong"
Setelah mendengarkan apa yang telah diceritakan oleh mak inang itu sang puteri pun lalu bersedih dan berlari menemui ayahandanya Baginda Raja, tetapi begitu ia sampai ke dalam istana, tuan puteri tertegun melihat ayahandanya dan ibundanya sedang bercumbu rayu, segera tuan puteri berbalik dan berlari ke kamarnya mengunci diri dan tidak keluar-keluar lagi. Pikiran nya kusut masai, bagaikan ada sesuatu pertentangan batin yanng dihadapinya. Berhari-hari lamanya tanpa makan dan minum. Permaisuri raja mulai gelisah melihat keadaan puterinya . Beliau tidak dapat melihat penyakit apa yang diderita puterinya, karena kamar terus-menerus terkunci dari dalam dan tak dapat dibuka, walaupun telah berulang kali di panggil-panggil namun tidak ada sahutan dari dalam, kecuali sayup-sayup terdengar isak tangis sang puteri.
Permaisuri raja resah hatinya kalau-kalau penyakit buah hatinya pengarang jantunngnya itu kian tambah melarat. Hal ini secepatnya disampaikan kepada Baginda Raja. Bukan main terkejutnya Baginda mendengar hal itu dan beliau cemas kalau-kalau cahaya matanya itu akan meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Baginda raja memanggil seluruh dayang-dayangnya untuk dimintai keterangan apakah mereka tahu sebab-musabab penyakit belahan jiwanya itu. Namun tak seorang pun yang dapat menjelaskan asal mula penyakit anandanya yang sangat dimanjanya itu.
Tiba-tiba mak inang pengasuh teringat akan kejadian tentang tiga orang nelayan yang meng-andungkan lagu yang sanngat menyedihkan pada beberapa hari yang lalu. Segeralah hal itu diceritakannya kepada Baginda Raja tentang apa yang telah terjadi sebenarnya.
Bukan main marahnya Baginda Raja mendengar laporan mak inang itu. Diperintahkan seluruh hulubalang dan pengawal untuk menangkap tiga orang nelayan yang diceritakan oleh mak inang itu untuk dihadapkan kepada Baginda Raja.
"Ampun patik tuanku, segala perintah telah hamba junjung, dan tiga orang nelayan ini hamba hadapkan ke bawah duli tuanku" Baginda Raja memandangn dengan sorot mata yang tajam kepada ketiga orang nelayan itu.
"Benarkah kamu nelayan yang berperahu hitam dan berlayar warna putih, serta meng-andung beberapa hari yang lalu?" selidik Baginda Raja. "Benar tuanku, kamilah nelayan itu" jawab ketiga nelayan itu. Baginda Raja bertambah beringas, dan menghardik " hai nelayan..!,kalian telah berlaku salah terhadap beta"!! "Kami rasa, kami tidak pernah berbuat salah ataupun tersalah melanggar hukum terhadap tuanku" ucap si Haluan. "Karena kamulah anakku menjadi gering dan sakit parah" tuduh baginda Raja dan ketiga nelayan itu tercengang heran serta tidak mengerti akan maksud Baginda Raja.
"Kamu harus dapat mengobati puteri beta, kalau puteri beta dapat sembuh segala permintaan kamu bertiga beta kabulkan, tetapi kalau kamu tidak dapat menyembuhkan penyakit puteri beta itu, maka kamu tidak dibenarkan lagi disini dan keluar meninggalkan negeri ini"
"Apalah daya kami tuanku, kami adalah orang miskin dan tidak punya apa-apa serta ilmu untuk mengobati orang sakitpun tiada" jawab si Timba ruang, dengan kecut dan pucat pasi.
"Segera laksanakan perintah beta"!! bentak Baginda Raja. Ketiga nelayan itu bertambah kecut dan lemah rasa sekujur tubuh mereka. Si Buritan merasa tak tahan hati lagi, sangkin takutnya iapun meng-andungkan lagu seperti beberapa hari yang lalu ketika di dalam sampan.
Sekonyong-konyong mendengar andungan itu, tiba-tiba puteri Raja keluar dari dalam kamarnya denngan pandangan mata yang beringas dan memandang kepada ayahandanya baginda Raja.
"Ayah telah berdusta kepada ananda, kata ayahanda seluruh rakyat di negeri ini sudah senang-senang dan tidak ada lagi yang miskin dan melarat, ternyata ketiga nelayan itu sangat melarat" seru sang puteri Raja.
"Dengarlah dulu ananda puteri beta, sebenarnya ayahanda tidak mengetahui bahwa mereka ini miskin dan melarat. Kalaulah ayahanda lebih dahulu mengetahuinya, ayahanda pasti membantu mereka agar mereka dapat hidup bahagia" sahut baginda Raja
"Dayang, ambilkan sirih tiga kapur untuk mereka bertiga, sebagai penajam obat yang telah dilakukan mereka bertiga ini"
Segera dayang masuk mengambilkan sirih tiga kapur, kemudian menyerahkan kepada baginda Raja. Baginda raja menerima sirih itu dan segera melemparkan ketiga sirih itu kehadapan ketiga nelayan itu. Secepatnya nelayan-nelayan itu menangkap sirih itu.
"Ambilkan pundi-pundi wang gobang" perintah baginda raja kepada permaisurinya. Segera permaisuri masuk kedalam mengambilkan pundi-pundi wang gobang.
Serta merta ketiga nelayan itu menyembah, langsung meletakkan sirih yang dikunyahnya itu dikedua telapak tangannya seraya memuyuh sirih itu sambil menari-nari di hadapan baginda Raja, sampai-sampai air sirih dikedua telapak tangan mereka menitik diatas lantai yang bersih di dalam istana itu. (Kelak tari ini dinamakan tari "Gubang")
Kamis, 17 Juni 2010
ASAL MULA LAGU DIDONG,SINANDONG,ALOBAN CONDONG,TARI GUBANG DAN PATAM-PATAM
Bagian I
Konon menurut yang empunya kisah, ada 3 (tiga) orang nelayan yang mencari nafkah hidupnya menangkap ikan kelaut. Mereka bertiga berangkat kelaut dengan sebuah sampan berwarna hitam dan memakai layar putih yang terbuat dari kain belacu...mengadu nasib dengan pertarungan sengit, dibuai ombak dan hempasan badai.Mereka duduk di dalam sampan; seorang duduk diburitan (diberi nama Siburitan),seorang duduk ditengah diberi nama ( Si Timba ruang ) dan seorang lagi dimuka diberi nama (Si Haluan ).
Perahu mereka terombang-ambing oleh angin kencang yang tiada mengenal belas-kasihan terhadap sang nelayan yang hampir kehabisan bekal.
Dari kejauhan terdengar suara berisik, dahan kayu yang bergerak dipukul angin dan suara air yang tak henti-hentinya berdebur di timba ruang perahu.Dengan rasa kecut mereka berpikir tidak akan sampai lagi ke laut. Kalaulah di teruskan mereka akan mati kelaparan.
Dalam rasa gundah-gulana mencekam diri mereka , si Haluan duduk memegang bangsi (seruling yang dibuat dari bambu). Ia mulai meniup bangsinya menirukan suara angin dan suara gesekan kayu dari kejauhan. (Kata"bagese" berubah menjadi bangsi).Sedangkan si Timba ruang terus saja menimba air yang hampir memenuhi sampan itu. Seorang lagi yang duduk di haluan mulai putus asa karena kemudi sampan itu hampir-hampir tidak dapat lagi dikendalikannya. Tiba-tiba angin kencang mulai itu mulai reda dan berhenti berhembus. Mereka terkatung-katung dibuai oleh ombak yang seakli-sekali mengangkat sampan itu setinggi-tingginya dan menghempas kembali dengan tiada ampunnya. Si Buritan memekik sekuat-kuatnya memanggil dan memuja angin meminta pertolongan, lagu ini akhirnya dinamai lagu "Didong"
Syair lagu itu seperti demikian :
oooooooooooooouuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu...............
Batolurlah kau sinangin
Batolur sepanjang pante
Barombus lah kau angin
Supaya lokas kami sampe
Lagu "Didong" adalah lagu memanggil angin. Sekonyong-konyong angin mulai berhembus lemah, dan mereka mulailah mengembangkan layarnya untuk kembali kedarat. Pulanglah mereka kembali dengan bekal yang hampir habis.
Dalam perjalanan pulang si Buritan pun meng-andungkan akan nasib peruntungan yang menimpa diri mereka bertiga. Sedangkan si Haluan seolah-olah tidak memperdulikan lagi tentang nasib mereka itu, dan ia telah dihanyutkan oleh tiupan bangsinya, yang mengalun-alun mengimbangi andungan si Buritan. Si Timba ruang terus saja melaksanakan tugasnya menimba air yang masuk kedalam sampan, karena pakal (tali peyumbat) sampannya ada yang tangal, yang menyebabkan air masuk kedalam sampan. Sangkin kersanya ia menimba air itu, tak uabhnya seperti bunyi pukulan gendang. Tingkah perbuatan mereka itu merupakan suara musik yang sangat merdu di dengar dan sangat memilukan hati bagi yang mendengarnya. Kekuatan daya tarik yang membuat lagu ini sangat terkesan dihati disebut "Pitunang", yakni orang dapat terpukau dan tak sadarkan diri jika mendengarkan lagu ini. Andungan ini terdengar sampai jauh sekali dibawa oleh angin
SINANDONG
SEKAPUR SIRIH
Tanjung Balai kota bertuah
Tepak Sirih pembuka kata
Kita mulai dengan Bismillah
Mari ikuti wahai pembaca
Kotamadya si kota kerang
Pulai Simardan anak durhaka
Sudah lama belum terkarang
Cerita lama punya legenda
Pantai burung, Beting Simelur
Pantai Elang bentengnya pecah
Lagu Didong menurut tutur
Memanggil angin nelayan susah
Desa si Jambi banyak kelapa
Jalan utama memasuki kota
Sinandong lagu tradisionil kita
Perlu dibina sepanjang masa
Teluk Nibung pelabuhan kota
Kapal merapat dekat dermaga
Aloban Condong kesenian kita
Bakal mendapat pujian bangsa
Desa Kapias Pulau Buaya
Titi gantung titinya dua
Patam-patam nama tarinya
Tari lama anak remaja
Selat Lancang airnya dalam
Tempat orang menghanyutkan lancang
Tari Gubang masa yang silam
Sebagai syarat menyiarkan mambang
Sungai Raja kebun kelapa
Tanahnya subur tempat bertani
Kesenian tradisionil perlu dibina
Untuk menghibur sedihnya hati
Pematang Kapias Batu Delapan
Desa Baru masuk perluasan
Legenda lama kami kisahkan
Agar pembaca mendapat kesan
oleh : A.RAHIM MAHA , BA ( Alm )
kususun kembali karya (Alm) sebagai tanda mengenang beliau yang mau memperhatikan budaya melayu (pesisir , Asahan, Tj.Balai, Batubara dan Labuhan Batu)
Tanjung Balai kota bertuah
Tepak Sirih pembuka kata
Kita mulai dengan Bismillah
Mari ikuti wahai pembaca
Kotamadya si kota kerang
Pulai Simardan anak durhaka
Sudah lama belum terkarang
Cerita lama punya legenda
Pantai burung, Beting Simelur
Pantai Elang bentengnya pecah
Lagu Didong menurut tutur
Memanggil angin nelayan susah
Desa si Jambi banyak kelapa
Jalan utama memasuki kota
Sinandong lagu tradisionil kita
Perlu dibina sepanjang masa
Teluk Nibung pelabuhan kota
Kapal merapat dekat dermaga
Aloban Condong kesenian kita
Bakal mendapat pujian bangsa
Desa Kapias Pulau Buaya
Titi gantung titinya dua
Patam-patam nama tarinya
Tari lama anak remaja
Selat Lancang airnya dalam
Tempat orang menghanyutkan lancang
Tari Gubang masa yang silam
Sebagai syarat menyiarkan mambang
Sungai Raja kebun kelapa
Tanahnya subur tempat bertani
Kesenian tradisionil perlu dibina
Untuk menghibur sedihnya hati
Pematang Kapias Batu Delapan
Desa Baru masuk perluasan
Legenda lama kami kisahkan
Agar pembaca mendapat kesan
oleh : A.RAHIM MAHA , BA ( Alm )
kususun kembali karya (Alm) sebagai tanda mengenang beliau yang mau memperhatikan budaya melayu (pesisir , Asahan, Tj.Balai, Batubara dan Labuhan Batu)
Langganan:
Postingan (Atom)